Sajak-Sajak Hidup Tan Malaka: Sebuah Perenungan


Entah mengapa, setiap kali diucapkan orang nama Tan Malaka, penulis selalu tercenung. Seolah ada tarikan waktu begitu kuatnya, memaksa jiwa penulis kembali menerawang ke masa awal abad ke-20 lalu yang penuh akan keriuhan. Masa-masa ketika semuanya serba baru dan transformasi antara ke-lampau-an dan kekinian atau masa depan begitu transparan. Dan, ketika, semua orang besar lahir dalam dunia yang juga membutuhkan mereka, sehingga dididik seolah menyatu dalam dunia yang penuh kedinamisan tersebut.

Namun adakalanya, pengenangan masa lalu, bagi sebagian pelaku sejarah yang sangat mendebarkan keingintahuan itu dan keinginan mewariskan pengalaman tersebut adakalanya dengan cara-cara yang bisa jadi lewat kisah-kisah heroik serta romantis. Jika demikian kondisinya, mengutip Taufik Abdullah, siapakah yang percaya bahwa negara kita ini akan dijajah lagi?

Tan Malaka historis dan Tan Malaka mitologis

Setiap kali seorang besar diperkatakan, peralihan mungkin terjadi pada diri seseorang yang bercerita atau yang mendengar serta menghayati peristiwa-peristiwa yang mengelilingi si aktor sejarah tersebut. Dalam sejarah, Tan Malaka sebagaimana halnya teks, ia telah selesai dalam arti tak lagi bersama kita hari ini. Sebagai teks, ia akan selalu dibaca dan ditafsirkan. Proses pembacaan dan penafsiran tersebut—bisa lewat imjinasi tadi—akan mengalami perubahan realitas karena adanya peralihan situasi. Dalam konteks inilah kemudian kecendrungan perlakuan terhadap si tokoh sejarah itu berputar antara situasi historis—sebagaimana terjadi—dengan kecendrungan mitologis—sesuatu yang diada-adakan.

Masa-masa awal pembentukan nasionalisme Indonesia modern pada akhir abad ke-19 dan suasana revolusioner yang meliputi para pejuang ’45 lalu, merupakan situasi dimana terdapatnya pembauran apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang ditangkap dalam perspektif para pelaku sejarah yang mengalami peristiwa itu secara langsung atau hanya mendengar. Atau terbaurnya, “peristiwa—bisa jadi kehidupan tokohnya—sebagaimana ia tejadi sesungguhnya dengan peristiwa sebagaimana ia dimengerti”.

Dalam konteks ini, Tan Malaka sebagai tokoh sejarah yang serba misterius itu sesungguhnya memiliki kecendrungan pembauran tersebut, baik oleh yang mengaguminya, maupun para pencelanya. Tetapi memang demikianlah nasib seorang tokoh atau peristiwa dalam sejarah ketika ia telah menjadi semacam “teks” yang bisa dipahami dengan tingkat orisinalitas yang berbeda. Walaupun demikian, penulis juga tak bisa menyalahkan persepsi banyak aktor sejarah yang mengagumi Tan Malaka atau yang mencelanya dengan sebutan komunis, karena historisitas tokoh ini—baik pengagum atau pembencinya—merupakan mekanisme sosial “membaca” seorang tokoh sejarah yang namanya melampui waktu kehidupannya, dan jangan lupa juga, kelegendarisannya.

Membaca Tan Malaka

Tan Malaka, lengkapnya Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandangadang, Suliki, Sumatera Barat. Tan Malaka dibesarkan ketika gagasan baru, keinginan-keinginan dan kritik-kritik dari pendidikan Barat dan Islam modernis melancarkan serangan-serangan berat terhadap pengertian-pengertian adat tradsional dan krisis yang menimpa kebudayan Minang secara keseluruhan ketika menghadapi perubahan-perubahan.

Gejala perubahan yang paling dramatis adalah kemunduran surau sebagai institusi pendidikan agama sekaligus adat yang digantikan oleh sekolah-sekolah para pembaru modernis maupun yang sekuler yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Tan Malaka berumur 6 tahun ketika menjalani pendidikan sekulernya di Sekolah Kelas Dua di Suliki. Semasa kecil ia dikenal bandel dan jagoan diantara teman-temannya. Sering dalam kenakalan masa kecil itu ia dihukum ibunya dengan dicambuk lidi atau dikurung dalam kandang ayam. Tak jarang ketika kegusaran ibunya tak tertahankan, maka dipanggilah guru kepalanya untuk menghukum dengan memutar pusarnya. “Sampai kini saya masih heran engapa justru penulislah yang harus menjadi korban hukuman itu”, tulisnya seperti dikutip oleh Poeze.

Meskipun nakal, guru-gurunya sangat menginginkan dia melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Guru karena kepintaran otaknya. Tahun 1908 Tan Malaka diterima di sekolah itu dan segera mudah beradaptasi dengan situasi yang melingkupinya. Waktu luangnya banyak diisi dengan sepak bola dan musik. Ia juga turut aktif dalam orkes sekolahnya dan orkes Eropa di Bukittinggi sebagai pemain cello.

Namun satu sisi romantis dirinya berkenaan dengan wanita terjadi di sekolah ini. Ia rela kehilangan gelar datuk ketimbang ditunangkan keluargannya, serta berkomitmen hanya akan mau menikah dengan Syarifah Nawawi yang merupakan satu-satunya murid perempuan di sana. Tapi sayang, cintanya pun tak terjawab. Dan memang sampai ajal menjeputnya secara tragis pada 19 Februari 1949 di Jawa Timur, tak satupun terdengar ia pernah menikah.

Lima tahun di Sekolah ini (1913), Tan Malaka (ketika itu berumur 16 tahun) berangkat berlayar ke negeri Belanda. Kepergiannya ke Belanda meneruskan upaya studi merupakan pematangan pemikiran yang nantinya sangat berpengaruh dalam jalannya pembangunan Indonesia sebagai bangsa. Namun demikian, sejarah pemikiran Tan Malaka dimulai ketika ia menjadi bagian dari “semarak Gunung Merapi”; rang mudo Minang dengan pertalian antara konsep rantau dan darek.

Sebagai remaja Minang nan jolong bakeris (dewasa), remaja seperti Tan Malaka di masa penjajahan kolonial Belanda memiliki perspektif yang berbeda akan dirinya dengan remaja masa pendudukan Jepang. Begitu juga remaja-remaja yang tersubkultur dalam masa kemerdekaan tentu memiliki perspektif dan orientasi yang jauh dinamis dibanding dengan masa penjajahan. Perubahan-perubahan orientasi tersebut merupakan hukum besi sejarah. Manusia dibentuk oleh perspektif lingkungannya. Tetapi benang merah yang dapat ditarik adalah adanya peran perspektif makna sebagai gejala sosial guna memahami dirinya sendiri.

Perantauan Tan Malaka sendiri dalam perspektif adat, merupakan mobilitas geografis dan intelektual memperkaya pengalaman pribadi, membantu mempercepat tercapainya kematangan ide, tingkah laku, dan nilai-nilai baru. Dalam kerangka kerja dialektik ini Tan Malaka memandang alam tempat asalnya sebagai referensi atau tesis. Sebagai pembanding, konsepsi rantau yang dijalani hampir separuh jalan hidupnya memiliki peran signifikan menumbuhkan bagaimana alam dilihat dalam persepsi berbeda. Konflik sebagai katalisator pencarian mana yang baik dan buruk dengan menghindari dogmatisme, lewat kebebasan berpikir (rasionalisasi), akhirnya melahirkan konsepsi sintesis berupa hasil pemikiran atau idealisme barunya yang dapat dilihat dari karya-karya semacam, “Menuju Republik Indonesia, Madilog, Gerpolek atau Massa Aksi”.

Selain dari buku-buku, Tan Malaka, memahami “dunia perjuangannya” setelah merantau ke Bukittinggi dan melanjutkan pengelanaan pemikirannya dengan memahami situasi geopolitik Eropa ketika itu yang mulai memasuki PD I dan II serta keberhasilan revolusi kaum Bolsyewik tahun 1918 di Rusia. Tetapi pengelanaan tersebut sering harus terganggu oleh penyakitnya. Tahun 1915 ia terserang radang paru-paru—dan penyakitnya ini terus mengintai sampai kematiannya.

Dalam keadaan kesehatan yang memburuk ia mengalami kegagalannya yang pertama tahun 1918 ketika mengikuti ujian akta guru kepala. Kegagalan ini merupakan pukulan mental berat yang dirasakannya, apalagi ketika merasa telah jauh-jauh merantau, toh, kenyataannya harus kembali tanpa mencapai sesuatu yang bermakna untuk dibawa pulang.

Praktis sebelum perkenalannya akan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang dinyatakan Alfian, Tan Malaka waktu itu rupanya masih berharap menjadi orang Minang yang membanggakan kaumnya di Suliki sana. Baru ketika ia kembali ke Indonesia (1919)—ketika berumur 22 tahun—dan bekerja di perkebunan-perkebunan Deli, Sumatera Utara, ia kemudian menjadi merasa dekat dan menganggap dirinya sebagai Marxis atau komunis.

“Bulan madu” perjuangan politik Tan Malaka dengan PKI dan Komitren harus berakhir di tahun 1927. Ada dua hal penting menyangkut keluarnya Tan Malaka dari PKI dan Komitren sehubungan dengan pandangan perjuangan politiknya.

Pertama, perlu taknya menyatukan organ perjuangan komunis dengan gerakan Pan-Islamisme. Bagi Tan Malaka, persatuan dan kerja sama yang erat diantara kekuatan politik yang relevan di Indonesia mutlak sifatnya. Tetapi, pandangannya ini ditolak mentah-mentah dalam sidang Komitren tahun 1922, dimana dua tahun sebelumnya sidang telah memutuskan tak memandang kekuatan Pan-Islamisme. Kedua, kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926 di Silungkang dan Jawa Barat. Dua hal tersebut telah mencabut keyakinan Tan Malaka, tak perlu laginya komunis sebagai ideologi perjuangan.

Ia juga kemudian menjadi yakin bahwa menggerakan jutaan masyarakat Indonesia lebih memiliki arti ketimbang tunduk pada kemauan Komitren yang bersifat internasional serta mengabaikan perjuangan kemerdekaan bangsanya. Bukunya berjudul Naar de Repbulik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) di tahun 1925 adalah monumen penting dari “teks” sajak Ibrahim Datuk Tan Malaka yang patut kita renungkankembali. Wallahu’alam. (Dimuat di Singgalang, 13/6/10)

Leave a comment